Senin, 14 Mei 2018

Penyimpangan Makna dan Simbol Penggunaan Warna Baju bodo di Sulawesi Selatan

Catatan Opu Saddakati.
PERGESERAN MAKNA SEBUAH BAJU BODO (TOKKO)

Kaum perempuan di Sulawesi Selatan (diluar Toraja) pada acara adat selalu diidentikkan dengan pemakaian baju adat yang sering mereka sebut Baju Bodo atau Baju Tokko. Pada sebuah acara pengantin yang semarak biasanya bahkan lebih sering yang punya acara membagikan baju seragam dari Baju Bodo (Tokko), demikian pula pada perhelatan sebuah pestival budaya  apalagi pada sebuah kegiatan karnaval budaya, wuh ! warna warni Baju Bodo (Tokko) sangat nampak dari kejauhan memenuhi sebuah alun-alun lapangan sepak bola. Kelihatan lebih indah dan anggun, apalagi dipadu dengan sebuah kacamata lensa hitam. Maka para laki-laki  sangat sulit lagi membedakan yang mana ABG belum memiliki pasangan dan yang mana sudah memiliki pasangan. Yang mana anak keturunan bangsawan dan yang mana orang biasa.

Pemakaian Baju Bodo (Tokko) di Sulawesi Selatan sudah dilonggarkan, pokoknya tergantung selera pemakai masing-masing. Struktur dan simbol status Baju Bodo (Tokko) menjadi tidak lagi bermakna. Sudah tidak ada lagi lembaga yang mengatur permainan sebuah warna. Kalau seseorang menegur malah dianggap status quo, udik, kampungan, dicuekin, dijauhi, dianggap tidak sopan, angkuh dan sombong. Yah ! mau-maunya dia tergantung selera penampilan. Mungkin dunia sekarang bukan lagi tempatnya orang saling menegur. Status sosial setiap orang dianggap sama. Nilai kearifan lokal dikesampingkan. Muncul status sosial baru yang mempengaruhi pola struktur sosial yaitu "To Sugi" (orang kaya). Sebuah nilai diukur bukan lagi berdasarkan struktur sosial dari kearifan lokal, melainkan dinilai  berdasarkan materi semata. Pandangan ini juga turut berpengaruh terhadap tingkat kognitif manusia jaman sekarang (now). Pada tataran ini maka muncullah dualisme oposisi, disatu sisi Baju Bodo (Tokko) dipertahankan untuk melestarikan adat dan budaya, disisi lain pemakaian sebuah Baju Bodo (Tokko) dikaburkan makna simbolnya.

Berdasarkan nilai kearifan lokal, pemakaian sebuah Baju Bodo (Tokko) selalu mengikuti tata aturan yang baku yang dapat dilihat melalui makna simbol warna baju tersebut. Misalnya warna.........
hanya boleh dipakai oleh seseorang yang belum menikah, Warna ..........hanya boleh dipakai oleh seorang yang sudah menikah, warna..........hanya dipetuntukkan untuk anak bangsawan, dan warna.........hanya boleh dipakai oleh seorang Raja atau Datu (Struktur sosial Levi-Straus bermain didalamnya).  Permainan sebuah warna berfungsi untuk menjaga sebuah keseimbangan dan keteraturan dalam sebuah sistim sosial. Kalau sekiranya sebuah warna baju yang hanya diperuntukkan untuk seorang Raja atau Datu sebagai pemimpin adat, dimana warna tersebut dugunakan pula oleh setiap orang, maka terjadilah sebuah kekaburan simbol.  Tidak lagi bisa diketahui yang mana pemimpin dan yang mana dipimpin. Semua orang jadi pemimpin atau sebaliknya. Manusia tidak lagi memahami  "Onro na" (statusnya). Sama halnya disebuah perempatan jalan ditempatkan rambu jalan berupa lampu tiga warna, ada warna untuk kita berhenti, ada warna untuk kita hati-hati dan ada warna untuk kita disuruh jalan, semua ini memberi makna agar dalam kehidupan kita terjadi keseimbangan dan keteraturan, dan tidak menjadi kacau. Maka disinilah dibutuhkan pemahaman makna sebuah simbol dalam sebuah permainan warna Baju Bodo (Tokko).

Selamat menggunakan Baju Bodo (Tokko) demi untuk melestarikan adat dan budaya kita dengan mengikuti makna simbol warna yang melekat pada Baju Bodo (Tokko) agar kehidupan ini tetap dalam suasana penuh keseimbangan dan keteraturan, tidak menjadi kacau seperti kata Clifford Geertz dalam teori interpretasi simbol bahwa " Simbol itu perlu dibaca, dipelajari, diterjemahkan maknanya, disebarluaskan agar setiap orang memahaminya".                                                                                   Sumber : facebook Muzly Anwar  

Tidak ada komentar: